Selama kita tidak mau merubah pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD 1945), selama itu pula kita semakin terpuruk bahkan bisa-bisa menjadi Negara yang gagal …..
Pendahuluan
Pernahkah kita bertanya apa ada yang salah dengan sistem perekonomian Indonesia?
Kenapa setelah merdeka lebih dari 60 tahun, tapi relatif tidak ada jalan baru yang dibangun?
Ambilah contoh Yogyakarta – Solo. Jalan rayanya adalah jalan yang dibangun penjajah Belanda dulu, yang kita pelebar sedikit dan kita tingkatkan kualitasnya.
Demikian pula jalan-jalan antara kota lain di Indonesia, relatif tidak ada jalan baru sama sekali.Pertanyaannya yang lebih mendasar adalah, kenapa nasib rakyat Indonesia, kelihatannya mereka lebih kaya pada zaman penjajahan kolonial Belanda ketimbang zaman merdeka sekarang?
Dahulu kakek saya di tahun 1910 mendapat berita bahwa orang Malaya (sekarang Malaysia) menjadi kaya karena berkebun karet. Kakek saya yang tinggal di dusun Mersam yang jaraknya 110 km dari kota Jambi memutuskan naik sampan ke kota Jambi.
Itu memerlukan waktu 2 hari 2 malam. Dari Jambi sang kakek naik perahu layar ke Singapura dan membeli biji-biji karet.
Pulang ke Mersam, sang kakek menjadi pionir dan membuka kebun karet dengan sistem gotong royong yang bahasa melayu Jambi disebut pelarian. Kakek berhasil membuka kebun karet seluas 200 hektar. Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu tidak melarang membuka kebun karet, tetapi juga tidak memberi bimbingan bagaimana berkebun karet yang baik.
Teknologi kakek dalam berkebun, yaitu babat alas (hutan), dibakar, tanam padi sekaligus tanam karet sekenanya saja. Dengan menanam padi sebagai pelindung bagi karet, yaitu terhadap hama monyet. Ketika padi di ladang itu sudah dipanen, pohon karet sudah cukup besar jadi tidak lagi diganggu monyet. Maka jadilah kebun karet rakyat yang pada kenyataannya adalah hutan karet.
Anehnya, pemerintah kolonial Belanda malah memberi subsidi kepada para pekebun karet rakyat ini. Setiap hektar diberi 10 kupon, dan setiap kupon berarti menerima subsidi setiap bulan. Menurut kakek, Belanda itu bengak (super bodoh), karena yang punya kebun karet adalah orang-orang pribumi (inlender) kok malah diberi uang? Padahal Belanda itu tidak bengak, karena dengan memberi uang kecil kepada pekebun karet rakyat, lalu kebun karetnya tidak dideres, jadi tidak berproduksi.
Hal ini tidak mengganggu produksi karet dan kebun modern di Sumatera Utara. Karena uang kupon itu banyak sekali, maka para pekebun karet di Pontianak, Riau, Jambi dan Palembang, pada pergi ke Mekkah dan bermukim di situ bertahun-tahun. Maka tidak heranlah pada waktu itu banyak ulama-ulama besar di Masjidil Haram, Mekkah adalah orang-orang Indonesia.
Lebih aneh lagi ketika Indonesia merdeka, semestinya generasi ayah saya diberi tanah oleh Negara, namun oleh para penyelenggara Negara, yaitu para birokrat, diberikan kepada para pengusaha, teman atau kawan-kawan mereka. Apalagi yang menentukan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan adalah birokrat yang ada di Jakarta, dan bukan berdasarkan peta pertanahan yang terakhir.
Seringkali terjadi HGU diberikan sampai ke belakang dapur dan rumah-rumah orang dusun.Akibatnya mereka tidak kebagian tanah untuk berkebun, ditambah lagi tanah yang semestinya tersedia untuk mereka berkebun, dengan mengatas namakan Negara oleh para birokrat itu dirampas dan diberikan kepada pengusaha konco mereka di Jakarta.
Nyanyian yang sudah puluhan tahun dinyanyikan yaitu Trickle Down Effect (efek kemakmuran yang mengucur ke bawah), ternyata cuma sebatas bibir saja. Nyatanya rakyat menjadi miskin dari hari ke hari. Kenapa? Karena kesalahan menerapkan sistem perekonomian yang tidak masuk akal.Inilah akar kesalahannya.
Ketika Bung Karno dan teman-teman berkeinginan membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, itu adalah keputusan yang luar biasa berani dan menentukan. Bayangkan saja Bung Karno dan teman-teman kebanyakan sudah berpendidikan tinggi, arsitek, ekonom, ahli hukum, dan sebagainya, berani-beraninya berjuang untuk Indonesia merdeka.
Jangankan merdeka kata-kata Indonesia saja di tahun 1920 an itu, baru ditemukan pada waktu itu. Kapan merdeka? Tidak ada jawaban yang pasti.Kalaupun merdeka, apa pasti menjadi presiden, wakil presiden, menteri, atau apa saja jabatan yang bergengsi ? Padahal didepan mata sudah ada suatu kehidupan yang pasti sebagai arsitek, ekonom, lawyer dan sebagainya.
Bung Karno dan teman-teman berani menafikan kenikmatan yang sudah dapat diraih, tetapi lebih memutuskan berjuang untuk memerdekakan rakyat dan bangsa Indonesia.Beliau itu rela mengorbankan masa depan yang sudah pasti, untuk suatu perjuangan memerdekakan rakyat dan bangsa Indonesia yang tidak jelas kapan hal itu dapat diraih? Mereka ditangkap dan dipenjarakan. Mereka baru betul-betul menikmati kemerdekaan pada tahun1949, setelah Konferensi Meja Bundar, di Den Hag, dan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada bangsa Indonesia.
Itu adalah keputusan yang luar biasa dari para negarawan-negarawan itu.Akan tetapi Bung Karno karena sangat anti dengan penjajahan di muka bumi, yaitu anti kepada para kolonialis dan imperalis, yang kebanyakkan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kapital. Bung Karno dan teman-teman pada waktu itu sepakat membuat perumusan, bahwa kapitalis sama dengan kolonialis, sama dengan imperalis, dan semuanya adalah iblis, dan harus kita linggis!Akibatnya Bung Karno dan teman-teman mencari sistem ekonomi yang tidak kapitalis (a kapitalis) dan juga anti imperalis dan kolonialis. Maka disepakati hal itu dirumuskan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satu ayat berbunyi bahwa azas kekeluargaan, dan bangun usaha yang cocok dengan itu ialah koperasi.
Sekarang mari kita bahas akar daripada kesalahan ini. Sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi yang berdasarkan pengalaman sistem ekonomi pasar yang terbuka. Didalam sistem ini berlaku hukum-hukum pasar dan prinsip-prinsip ekonomi pada umumnya. Alokasi sumber daya ekonomi dilakukan oleh pasar dan bukan oleh pengusaha (birokrat). Demikian juga dengan distribusi produk, ditentukan juga oleh pasar.
Sekarang mau dipraktekkan sistem ekonomi berdasarkan prinsip kekeluargaan.Apa iya bisa begitu? Coba Anda bayangkan kalau Anda harus sepanjang umur membantu saudara Anda? Pasti ada titik jenuhnya, dan Anda akan berkata kepada saudara tadi, “Sana usaha sendiri dong, masak disuapin melulu”. Atau kalau tetangga Anda selalu minta kepada Anda dan tidak pernah memberi, Anda juga memiliki titik jenuh. Para ekonom selalu berkata, “tidak ada makan perai seseorang harus membayarnya (there is no such a free lunch and some body has to pay).
Jadi sangat absurdlah, kalau kita mau menerapkan perekonomian berdasarkan azas kekeluargaan. Tidak masuk akal, dan kalau dijalankan terjadilah distorsi-distorsi dari alokasi sumber daya ekonomi, serta distribusi dari produk (output). Kalau dikatakan bahwa bangun usaha yang pantas ialah koperasi? koperasi ini mencontoh praktek Raffaisen di Jerman pada waktu itu, dimana setiap anggota memiliki suara yang sama.
Itu bisa dipraktekkan di Jerman, karena para anggotanya sama kayanya.
Ketika hal ini dicoba diterapkan di Indonesia yang lebih banyak orang miskinnya, maka apakah Anda mau bersuara sama tetapi Anda sudah membayar iuran Rp. 10 juta, sementara teman Anda cuma Rp 10.000.-? Tentu Anda tidak akan mau bukan? Maka jadilah gerakkan koperasi ini selama 60 tahun lebih, hanya sebagai pemanis bibir saja dan tidak pernah ada yang berhasil dengan baik.
Pertanyaannya, apakah kita mau berketerusan melaksanakan hal yang tidak masuk akal ini?Kesalahan berikutnya karena Bung Karno itu anti kapitalis dan kolonialis, maka oleh Bung Karno dan teman-teman dirumuskan juga kedalam pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa “Bumi, air dan segala sesuatunya dibawahnya dukuasai oleh Negara, untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya”.
Meskipun dikuasai tidaklah berarti memiliki, tetapi didalam prakteknya tejadilah menyimpangan seperti yang telah diuraikan pada bagian muka dari tulisan ini. Apabila di bawah tanah dimiliki oleh rakyat, dan sudah ada Sertifikat Hak Milik (SHM), kemudian diketemukan, minyak, bumi dan gas atau bahan-bahan mineral atau air dan sebagainya, maka bahan itu dikuasai / dimiliki oleh Negara.
Dan yang empunya tanah yang sudah ber SHM diminta pergi dan diberi uang kompensasi senilai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dari tanah itu dari kantor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Disebut juga uang ganti rugi.
Rakyat menjadi lebih tidak mengerti, apabila akhirnya minyak bumi itu dikelola oleh perusahaan penambang minyak asing?
Kesimpulan
Selama kita tidak mau merubah pasal 33 Udang-Undang Dasar (UUD) 1945, menjadi pasal yang membumi kepada rakyat, yaitu membuat setiap rakyat memiliki hak, kewajiban, kesempatan, dan perlakuan yang sama untuk: pelatihan, pendidikan, bekerja, berusaha, berinvestasi dan bela Negara, juga tanah diberikan kepada rakyat, serta hak milik pribadi diakui dan dilindungi oleh Negara, dan juga sistem perekonomian bermaksud untuk mengayakan rakyat, maka selama itu pula kita semakin terpuruk dan bahkan bisa-bisa menjadi Negara yang gagal (failure satate).
Apalagi setelah tahun 2020 dimana globalisasi total atau era kesejagadan sudah berlaku, Indonesia bisa-bisa warga negaranya secara ekonomi terjajah ditanah airnya sendiri. Tentu tidak ada yang ingin keadaan sedih ini menjadi kenyataan bukan?
Kesalahan sistem perekonomian kita harus segera dikoreksi.
Untuk itu ditahun 2009 kita harus memilih partai dan pimpinan Negara yang mau melakukan perubahan sistem perekonomian, sehingga hasil akhirnya mensejahterahkan rakyat Indonesia.
Semogalah hal ini menjadi kenyataan.
Pernahkah kita bertanya apa ada yang salah dengan sistem perekonomian Indonesia?
Kenapa setelah merdeka lebih dari 60 tahun, tapi relatif tidak ada jalan baru yang dibangun?
Ambilah contoh Yogyakarta – Solo. Jalan rayanya adalah jalan yang dibangun penjajah Belanda dulu, yang kita pelebar sedikit dan kita tingkatkan kualitasnya.
Demikian pula jalan-jalan antara kota lain di Indonesia, relatif tidak ada jalan baru sama sekali.Pertanyaannya yang lebih mendasar adalah, kenapa nasib rakyat Indonesia, kelihatannya mereka lebih kaya pada zaman penjajahan kolonial Belanda ketimbang zaman merdeka sekarang?
Dahulu kakek saya di tahun 1910 mendapat berita bahwa orang Malaya (sekarang Malaysia) menjadi kaya karena berkebun karet. Kakek saya yang tinggal di dusun Mersam yang jaraknya 110 km dari kota Jambi memutuskan naik sampan ke kota Jambi.
Itu memerlukan waktu 2 hari 2 malam. Dari Jambi sang kakek naik perahu layar ke Singapura dan membeli biji-biji karet.
Pulang ke Mersam, sang kakek menjadi pionir dan membuka kebun karet dengan sistem gotong royong yang bahasa melayu Jambi disebut pelarian. Kakek berhasil membuka kebun karet seluas 200 hektar. Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu tidak melarang membuka kebun karet, tetapi juga tidak memberi bimbingan bagaimana berkebun karet yang baik.
Teknologi kakek dalam berkebun, yaitu babat alas (hutan), dibakar, tanam padi sekaligus tanam karet sekenanya saja. Dengan menanam padi sebagai pelindung bagi karet, yaitu terhadap hama monyet. Ketika padi di ladang itu sudah dipanen, pohon karet sudah cukup besar jadi tidak lagi diganggu monyet. Maka jadilah kebun karet rakyat yang pada kenyataannya adalah hutan karet.
Anehnya, pemerintah kolonial Belanda malah memberi subsidi kepada para pekebun karet rakyat ini. Setiap hektar diberi 10 kupon, dan setiap kupon berarti menerima subsidi setiap bulan. Menurut kakek, Belanda itu bengak (super bodoh), karena yang punya kebun karet adalah orang-orang pribumi (inlender) kok malah diberi uang? Padahal Belanda itu tidak bengak, karena dengan memberi uang kecil kepada pekebun karet rakyat, lalu kebun karetnya tidak dideres, jadi tidak berproduksi.
Hal ini tidak mengganggu produksi karet dan kebun modern di Sumatera Utara. Karena uang kupon itu banyak sekali, maka para pekebun karet di Pontianak, Riau, Jambi dan Palembang, pada pergi ke Mekkah dan bermukim di situ bertahun-tahun. Maka tidak heranlah pada waktu itu banyak ulama-ulama besar di Masjidil Haram, Mekkah adalah orang-orang Indonesia.
Lebih aneh lagi ketika Indonesia merdeka, semestinya generasi ayah saya diberi tanah oleh Negara, namun oleh para penyelenggara Negara, yaitu para birokrat, diberikan kepada para pengusaha, teman atau kawan-kawan mereka. Apalagi yang menentukan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan adalah birokrat yang ada di Jakarta, dan bukan berdasarkan peta pertanahan yang terakhir.
Seringkali terjadi HGU diberikan sampai ke belakang dapur dan rumah-rumah orang dusun.Akibatnya mereka tidak kebagian tanah untuk berkebun, ditambah lagi tanah yang semestinya tersedia untuk mereka berkebun, dengan mengatas namakan Negara oleh para birokrat itu dirampas dan diberikan kepada pengusaha konco mereka di Jakarta.
Nyanyian yang sudah puluhan tahun dinyanyikan yaitu Trickle Down Effect (efek kemakmuran yang mengucur ke bawah), ternyata cuma sebatas bibir saja. Nyatanya rakyat menjadi miskin dari hari ke hari. Kenapa? Karena kesalahan menerapkan sistem perekonomian yang tidak masuk akal.Inilah akar kesalahannya.
Ketika Bung Karno dan teman-teman berkeinginan membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, itu adalah keputusan yang luar biasa berani dan menentukan. Bayangkan saja Bung Karno dan teman-teman kebanyakan sudah berpendidikan tinggi, arsitek, ekonom, ahli hukum, dan sebagainya, berani-beraninya berjuang untuk Indonesia merdeka.
Jangankan merdeka kata-kata Indonesia saja di tahun 1920 an itu, baru ditemukan pada waktu itu. Kapan merdeka? Tidak ada jawaban yang pasti.Kalaupun merdeka, apa pasti menjadi presiden, wakil presiden, menteri, atau apa saja jabatan yang bergengsi ? Padahal didepan mata sudah ada suatu kehidupan yang pasti sebagai arsitek, ekonom, lawyer dan sebagainya.
Bung Karno dan teman-teman berani menafikan kenikmatan yang sudah dapat diraih, tetapi lebih memutuskan berjuang untuk memerdekakan rakyat dan bangsa Indonesia.Beliau itu rela mengorbankan masa depan yang sudah pasti, untuk suatu perjuangan memerdekakan rakyat dan bangsa Indonesia yang tidak jelas kapan hal itu dapat diraih? Mereka ditangkap dan dipenjarakan. Mereka baru betul-betul menikmati kemerdekaan pada tahun1949, setelah Konferensi Meja Bundar, di Den Hag, dan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada bangsa Indonesia.
Itu adalah keputusan yang luar biasa dari para negarawan-negarawan itu.Akan tetapi Bung Karno karena sangat anti dengan penjajahan di muka bumi, yaitu anti kepada para kolonialis dan imperalis, yang kebanyakkan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kapital. Bung Karno dan teman-teman pada waktu itu sepakat membuat perumusan, bahwa kapitalis sama dengan kolonialis, sama dengan imperalis, dan semuanya adalah iblis, dan harus kita linggis!Akibatnya Bung Karno dan teman-teman mencari sistem ekonomi yang tidak kapitalis (a kapitalis) dan juga anti imperalis dan kolonialis. Maka disepakati hal itu dirumuskan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satu ayat berbunyi bahwa azas kekeluargaan, dan bangun usaha yang cocok dengan itu ialah koperasi.
Sekarang mari kita bahas akar daripada kesalahan ini. Sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi yang berdasarkan pengalaman sistem ekonomi pasar yang terbuka. Didalam sistem ini berlaku hukum-hukum pasar dan prinsip-prinsip ekonomi pada umumnya. Alokasi sumber daya ekonomi dilakukan oleh pasar dan bukan oleh pengusaha (birokrat). Demikian juga dengan distribusi produk, ditentukan juga oleh pasar.
Sekarang mau dipraktekkan sistem ekonomi berdasarkan prinsip kekeluargaan.Apa iya bisa begitu? Coba Anda bayangkan kalau Anda harus sepanjang umur membantu saudara Anda? Pasti ada titik jenuhnya, dan Anda akan berkata kepada saudara tadi, “Sana usaha sendiri dong, masak disuapin melulu”. Atau kalau tetangga Anda selalu minta kepada Anda dan tidak pernah memberi, Anda juga memiliki titik jenuh. Para ekonom selalu berkata, “tidak ada makan perai seseorang harus membayarnya (there is no such a free lunch and some body has to pay).
Jadi sangat absurdlah, kalau kita mau menerapkan perekonomian berdasarkan azas kekeluargaan. Tidak masuk akal, dan kalau dijalankan terjadilah distorsi-distorsi dari alokasi sumber daya ekonomi, serta distribusi dari produk (output). Kalau dikatakan bahwa bangun usaha yang pantas ialah koperasi? koperasi ini mencontoh praktek Raffaisen di Jerman pada waktu itu, dimana setiap anggota memiliki suara yang sama.
Itu bisa dipraktekkan di Jerman, karena para anggotanya sama kayanya.
Ketika hal ini dicoba diterapkan di Indonesia yang lebih banyak orang miskinnya, maka apakah Anda mau bersuara sama tetapi Anda sudah membayar iuran Rp. 10 juta, sementara teman Anda cuma Rp 10.000.-? Tentu Anda tidak akan mau bukan? Maka jadilah gerakkan koperasi ini selama 60 tahun lebih, hanya sebagai pemanis bibir saja dan tidak pernah ada yang berhasil dengan baik.
Pertanyaannya, apakah kita mau berketerusan melaksanakan hal yang tidak masuk akal ini?Kesalahan berikutnya karena Bung Karno itu anti kapitalis dan kolonialis, maka oleh Bung Karno dan teman-teman dirumuskan juga kedalam pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa “Bumi, air dan segala sesuatunya dibawahnya dukuasai oleh Negara, untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya”.
Meskipun dikuasai tidaklah berarti memiliki, tetapi didalam prakteknya tejadilah menyimpangan seperti yang telah diuraikan pada bagian muka dari tulisan ini. Apabila di bawah tanah dimiliki oleh rakyat, dan sudah ada Sertifikat Hak Milik (SHM), kemudian diketemukan, minyak, bumi dan gas atau bahan-bahan mineral atau air dan sebagainya, maka bahan itu dikuasai / dimiliki oleh Negara.
Dan yang empunya tanah yang sudah ber SHM diminta pergi dan diberi uang kompensasi senilai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dari tanah itu dari kantor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Disebut juga uang ganti rugi.
Rakyat menjadi lebih tidak mengerti, apabila akhirnya minyak bumi itu dikelola oleh perusahaan penambang minyak asing?
Kesimpulan
Selama kita tidak mau merubah pasal 33 Udang-Undang Dasar (UUD) 1945, menjadi pasal yang membumi kepada rakyat, yaitu membuat setiap rakyat memiliki hak, kewajiban, kesempatan, dan perlakuan yang sama untuk: pelatihan, pendidikan, bekerja, berusaha, berinvestasi dan bela Negara, juga tanah diberikan kepada rakyat, serta hak milik pribadi diakui dan dilindungi oleh Negara, dan juga sistem perekonomian bermaksud untuk mengayakan rakyat, maka selama itu pula kita semakin terpuruk dan bahkan bisa-bisa menjadi Negara yang gagal (failure satate).
Apalagi setelah tahun 2020 dimana globalisasi total atau era kesejagadan sudah berlaku, Indonesia bisa-bisa warga negaranya secara ekonomi terjajah ditanah airnya sendiri. Tentu tidak ada yang ingin keadaan sedih ini menjadi kenyataan bukan?
Kesalahan sistem perekonomian kita harus segera dikoreksi.
Untuk itu ditahun 2009 kita harus memilih partai dan pimpinan Negara yang mau melakukan perubahan sistem perekonomian, sehingga hasil akhirnya mensejahterahkan rakyat Indonesia.
Semogalah hal ini menjadi kenyataan.
No comments:
Post a Comment